Di perjalanan menuju ujung pos dua gunung Lawu enam tahun yang lalu, sebelum rehat shalat ashar, Mas Hand, kakak alumni ber-trah Tinarso yang saat itu sedang menempuh kuliah keperawatan di kota Yogyakarta, meracau tak kenal henti pada adik-adik yang baru saja dikenalnya. Banyak yang diceritakan.
Melihat tubuhku, langsung saja dia bisa menebak apa minuman kesukaanku. Katanya “Dik, ben nggak gampang kesel pas munggah gunung ojo kakean ngombe es, ben ora lemu juga awakmu (Dik, biar tidak mudah lelah saat naik gunung, jangan banyak minum es, agar tidak gemuk juga badanmu)”. Yang menyebalkan Mas Hand mengakhiri ucapannya itu dengan tawa puas hingga gigi depan, belakang, samping kanan, juga samping kiri berebut menunjukan diri. Huh, dengan sengaja Mas Hand pun menekankan kata gemuk dengan memicingkan matanya pada postur tubuhku. Tak perlu berbuat begitu, semua orang pun juga tau kalau tubuhku memang belum kurus. Catat, bukan tidak kurus, tapi belum kurus, suatu saat kalian akan terkagum melihat aduhainya tubuhku, tapi kapan? entahlah, haha
Meski tampangnya konyol -dan langka, atau purba, apa ya kata yang pas-, ada juga satu ucapan Mas Hand yang sampai hari ini tak pernah terlupa dan berangsur-angsur terbukti kebenarannya bersama waktu yang semakin menua. Katanya, “Dik, kalau kamu ingin saling mengenal, memahami dan berarti penting untuk temanmu satu sama lain, tunaikanlah perjalanan jauh dan bermukim bersamanya”. “Terutama perjalanan dan bermukim di alam seperti ini”, tambahnya.
————————————-
Green Scout Adventure atau kami mengenalnya dengan sebutan GSA tak lain adalah amal jariyyah alumni Pramuka SMADA Ngawi sejak 2001 yang sampai hari ini masih bisa dinikmati oleh generasi sesudahnya. Kegiatan lima hari yang berkonsep safary camp ini memperjalankan kami dari satu bumi perkemahan ke bumi perkemahan yang lain dengan berbekal tas di pundak juga tongkat di tangan. Berangkat dari Sekolah kami yang berada di tengah desa Klitik, Kecamatan Geneng, menuju bumi perkemahan Selondo, Desa Ngrayudan, lalu Srambang, Kecamatan Jogorogo, dan berakhir di bumi perkemahan Hargomulyo hingga Jamus, Kecamatan Ngrambe.
Untuk menuju satu pos ke pos yang lain, jangan berharap ada rafia merah di sepanjang jalan sebagai tanda peta pita. Karena yang ada di tangan, hanya surat tugas bersandi, kompas, titik ordinat, peta geografis dan douglas. Ilmu navigasi, orientasi medan, pembacaan peta, intersection, hingga kompas mulut -bertanya arah kesana, kesini kepada warga sekitar-, dan kompas pantat -nurut kemana saja kelompok lain berjalan- mengantarkan kami hingga tujuan. Kalau sedang mujur, ya kami bisa mendapat jalan baru yang lebih cepat, mudah dan aman, tapi sayangnya, kebanyakan malang karena tersesat. Ralat bukan malang, karena dari tersesat itulah kami punya bahan untuk guyon di malam harinya saat masa evaluasi tiba. Pada bukit, lembah, tanjakan, sungai, rindangnya pohon, jalan setapak, perumahan warga, gunung, hingga longsoran tanah akibat hujan deras -karena Desember musim hujan- kaki kami pernah menginjak mereka semua.
“Lalu disana makan apa?”, pertanyaan ini mungkin yang sering ditanyakan ibu-ibu kami di rumah saat merayu tiket perizinannya. Tak banyak bekal makanan yang dibawa memang, tapi nyatanya sampai hari ini belum ada cerita peserta yang mati kelaparan. Alam telah menyediakan segalanya untuk hidup. Ilmu survival -bertahan hidup- bersanding dengan kebaikan hati warga yang merelakan segala jenis buah dan sayuran -bahkan nasi sepiring lengkap dengan sayur dan lauknya- di ladang milik mereka untuk kami makan. Tidak hanya untuk sekedar mempertahankan hidup, di GSA inilah, kami bisa menikmati rambutan, salak, jeruk bali, durian hingga kelapa muda dengan gratis. Kompor lapangan, spirtus, mie, sarden, sambal kacang, nasi setengah matang, nasi yang berubah nama menjadi bubur, sayur daun ketela, jagung - dan apapun yang ditemukan saat di perjalanan- melengkapi perut kami dengan sensasi rasa yang bermacam-macam -dan tak karuan- juga semarak dengan bermacam kontes masak yang jurinya perakus macam Ahmad Widada, dan Angga. Untung saja, bukan Warih. Untung saja.
Di hari kelima, bukit teh Jamus sudah menyapa dengan sekenario bencananya. Ya, peserta datang sebagai penyelamat -tim SAR- lengkap dengan tenda darurat, tandu, obat-obatan, juga dapur darurat. Sedang kakak-kakak panitia, dengan peran terbaiknya siap menjadi korban, -dengan penyakit fisik hingga gila, usia tua hingga balita-, perangkat desa, wartawan, dan lakon lain layaknya kondisi bencana sungguhan. Ilmu SAR mati-matian diuji disini bertaruh dengan hidup matinya nyawa korban.
Saat waktu semakin habis, proses evaluasi dan pertanggung jawaban hingga keputusan layak tidaknya dilantik menjadi bagian yang penuh tangis. Tak peduli, laki atau perempuan, berbadan kecil atau besar, ganteng atau buruk rupa, matanya tak bisa berbohong, bercucuran hingga lelah yang menyudahinya.
Sleyer warna oranye di kepala sudah saatnya diturunkan ke pundak sebagai pertanda dilantiknya menjadi anggota dari keluarga besar Green Scout. Prosesi adat yang mengiringinya menghadirkan tawa yang jadi titik balik dari ketegangan masa evaluasi. Dan di bawah jembatan disaksikan deburan air yang mengalir kencang di sungai, di atas batu yang menyembul ke permukaan, disana telah menanti kakak alumni tertua yang sepenuh hati membuka tanganya lebar-lebar, menyungging senyuman terbaik dan berucap bismillah, menurukan sleyer dari kepala ke pundak, menalinya dan setengah berbisik berucap, “Dik, selamat datang di keluarga kami, kapanpun kau bisa pulang disini bersama kami, berjanjilah pada dirimu sendiri, GSA akan jadi momentum untukmu menjadi manusia pembelajar baru yang pandai memegang sumpah janji bakti “menapak bumi, menggapai langit, mencapai cita-cita” diakhiri dengan pelukan dan tangis yang pecah seketika.
——————-
Ah tiba-tiba ada yang meyesakan dada, akan sangat panjang jika digambarkan tiap detail kegembiraan GSA. Tak perlu lagi kau tanya, mental dan karakter seperti apa yang dibangun dan dihasilkan dari GSA kepada kami, juga dari Pramuka SMADA kepada kami. Meski tak selamanya kami menjadi orang baik, tapi GSA sudah menjadi benteng yang menjauhkan kami dari kenistaan.
GSA pun membenarkan ucapan Mas Hand tentang kualitas pertemanan yang kami punya. Persaudaraan diantara kami lahir bersama ancaman alam dan kelaparan, tumbuh bersama jauhnya kaki melangkah, naik turunya perbukitan, deras lambatnya arus air di sungai, dan berwarna bersama bau gosongnya nasi yang dikukus di panci kecil berapikan spirtus, warna-warni buah hasil survival, teruji kesetiaannya bersama jalanan yang tersesat, saling merawat saat sakit, saling memperjuangkan saat masa evaluasi -yang menentukan dilantik tidaknya- dan menyemai toleransi hormat menghormati bersama dengan pendampingan alumni, serta pembina terimakasih Pak Samsul, dan Bu Agustin yang juga ikut menikmati perjalanan setiap inchinya bersama kami. Nyatanya, bagiku inilah lingkaran pertemanan yang Allah izinkan paling hidup dan berdampak hingga detik ini tanpa mengenal kelas, strata, usia ataupun gender.
Bagi saya pribadi, ini adalah GSA ke-enam, dan karena tertua di GSA ke lima belas ini, saya pun menjadi kakak di ujung sungai seperti yang dulu pernah Mbak Lia tunaikan padaku. Sangat emosional, sejak menjadi pradana, detik pelantikan selalu menjadi momen yang sangat personal bagi saya, karena disana saya bisa menikmati senyuman, genggaman tangan, tangisan, dan pelukan satu demi satu setiap adik yang dilantik. Sangat personal, karena disanalah saya belajar banyak dari setiap kisah, tujuan dan komitmen yang diucap adik-adik -dan hanya kita berdua yang tahu- sebelum saya berucap bismillah memberikan simbol pelantikan. Untuk kesempatan seperti ini, saya haturkan terimakasih, karena telah memberi ruang belajar yang sangat lebar.
Hanya ada satu kata yang bisa merangkum semua pengalaman di GSA dan Pramuka SMADA. Yaitu kegembiraan. Disini kami diajari utnuk hidup dengan gembira, tak peduli apa yang terjadi, Dan di tengah arus informasi yang serba semrawut, dengan dibumbui ucapan kebencian yang diteriakan sana sini hingga jadi bangsa yang kurang piknik, kegembiraan menjadi hal langka dan tak banyak orang yang bisa memberikan.
Ah setiap dari diri kita yang pernah menikmati proses di GSA dan Pramuka SMADA tentu berhutang satu sama lain, terimakasih yang tak pernah habis untuk semua, semoga kita bisa saling menghadirkan kegembiraan sampai kapanpun. Teruslah setia pada rasa persaudaraan yang telah lahir dan tumbuh bersama alam, terimakasih atas cinta yang sangat sederhana, terimakasih atas cinta yang tanpa syarat. Terimakasih Rakasmada Ngawi.
| Nabella Rizki Al-Fitri
| https://www.facebook.com/nabella.alfitri/posts/1225212907494176